Translate

Monday, March 28, 2016

Caraphernelia

Aku tak tahu sudah berapa lama aku menatap dinding kusam dihadapanku. Rasa perih di kedua mataku yang kering sedikit membuatku terhibur. Aku sudah bisa berhenti menangis.
Kualihkan padangan ke arah jam dinding tua yang tergantung bersama debu-debu yang membuatku susah melihat kedua jarumnya. Jam 6 sore. Waktu dimana satu bulan yang lalu, aku sudah siap memasak dan menghidangkan ayam rica-rica, makanan favorit tunanganku, Jack. Waktu dimana satu bulan yang lalu, aku sudah siap menunggu senyumnya yang lebar menahan letih sehabis bekerja. Waktu dimana satu bulan yang lalu, aku masih memeluknya, dengan rasa cinta yang tak berubah sedikit pun setelah tujuh tahun bersama.

Semua barang-barang yang ada di kamar 5x5 meter ini mengingatkanku pada sosoknya. Mungkin sudah saatnya untuk move on, batinku. Aku bergerak mengambil kardus bekas yang dulu kami gunakan untuk pindah ke rumah kecil ini. Rumah kecil di pinggir kota, jauh dari kebisingan dan keramaian, tepat seperti yang dulu kami idamkan.

Dua teropong kecil.
Jack memberikannya padaku ketika anniversary kelima kami. Dia menyiapkan makan malam yang sangat lezat, lengkap dengan lilin dan bunga segar. Malam itu aku lembur di kantor, sehingga dia memasak semuanya sendirian. Sehabis makan malam, kami merebahkan diri di halaman belakang dan melihat bintang melalui teropong yang kugenggam ini. Sesekali Jack menirukan adegan film Korea dengan pura-pura menunjuk langit sambil tertawa geli. Tanpa sadar air mataku jatuh lagi. Aku langsung memasukkan kedua teropong ini ke dalam kardus.

Kotak musik berbentuk grand piano.
Pengantar tidurku yang satu ini adalah hadiah Jack pada ulang tahunku yang ke-27. "Miniaturnya dulu ya, sayang. Nanti kita nabung buat beli yang asli hehehe." Ucapannya kembali terngiang dan membuat hatiku ngilu. Aku terisak kembali. Untuk terakhir kalinya aku memutar bagian bawahnya, dan lagu Swan Lake terdengar dengan nyaring, menjadi satu-satunya suara di kamar ini, di rumah ini. Aku terisak. Tanpa menunggu lagunya selesai, aku memasukkannya ke dalam kardus.

Sebuah gembok.
Aku bahkan tidak sanggup untuk menyentuhnya. Kunci yang tertancap di gembok ini, belum pernah dilepas sekali pun sejak pertama kali Jack memberikannya kepadaku. Saat itu aku sedang terbaring sakit, sehingga aku memintanya untuk belanja ke pasar. Ketika dia pulang, dengan iseng ia menempelkan gembok ini di keningku. Aku yang sedang tertidur pun terbangun karena kaget. Dengan setengah sadar aku menatapnya dengan muka bingung.

--

"Tadi waktu di pasar ada yang jualan gembok, kasihan banget bapaknya sepi pembeli. Lagian pas banget ada gembok warna pink, warna kesukaan kamu. Yaudah aku beli aja, murah banget lho cuma 15 ribu!"

"Lah ini gembok buat apaan emang?"

"Emangnya kita ga jadi ke Paris?! Gajadi ke Pont des Arts buat bikin love locks? Impian kamu dari dulu kan itu."

"Hahaha Jack.. Jack.. Buat beli tiketnya aja belum kekumpul duitnya.."

"Yaudah simpan aja dulu nih gemboknya. Biar kamu semangat dan ga sakit-sakit lagi. Cepat sembuh ya, sweetheart. Aku masakin sup ayam kesukaan kamu."

--

Energiku, inspirasiku, motivasiku. Lelaki pekerja keras yang selalu optimis. Setiap asa yang terucap menjadi benang dalam merajut mimpi. Pendamping hidup, satu-satunya yang pernah kucinta.

Tenagaku sudah habis. Aku tersadar, tidak ada yang bisa membuatku melupakan Jack. Tidak juga dengan membuang semua barang-barang penuh kenangan dan memori bersamanya.

Karena bagaimanapun, Jack, aku tidak bisa hidup tanpa bayanganmu.

-------

Jantung.
Hadiah Jack yang menyambung hidupku.